Sebuah keluarga sebagai makhluk
sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat, sebuah keluarga sebagai elemen
penting dari sebuah masyarakat, tidak terlepas dari ikatan lingkungan di mana
keluarga tersebut tinggal, ia hidup di masyarakat di mana ia menjadi bagian
darinya, dengan alasan apapun sebuah keluarga tidak mungkin membebaskan diri
dari bagiannya dan merasa seolah-olah tinggal sendiri dengan mengacuhkan
lingkungan sekitar, sementara pada saat yang sama sebuah keluarga juga harus
menghadapi kenyataan bahwa dalam lingkungannya terdapat sisi negatif yang
mengharuskannya bersikap hati-hati.
Setiap muslim dan muslimah mengetahui posisi tetangga dalam agama Islam, agama Islam memberikan hak-hak tersendiri kepada mereka yang tidak diberikan kepada selainnya, hal ini terbaca dari wasiat Jibril yang berulang-ulang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang tetangga sehingga beliau mengira tetangga akan mewarisi.
Di samping itu tetangga bisa menjadi salah satu tolak ukur iman seseorang. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ كاَنَ يُؤْمِنُ باللهِ وَاليَوْمَ الآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلىَ جَارِهِ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya dia berbuat baik kepada tetangganya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Sebaliknya tetangga juga bisa menjadi salah satu tolak ukur ketidakimanan seseorang. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
وَاللهِ لا يُؤْمِن وَاللهِ لاَ يُؤْمِن وَاللهِ لاَ يُؤْمِن قِيْلَ مَنْ ياَ رَسُولَ الله ؟ قالَ اَلَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman.” Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya maksudnya beliau menjawab, “Orang di mana tetangganya tidak aman dari keburukan-keburukannya.” (Muttafaq alaihi dari Abu Hurairah).
Karena itu tidak aneh kalau tetangga bisa mempengaruhi surga, dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah,
لاَ يَدْخُلُ الجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارَهُ بَوَائِقَهُ
“Tidak masuk surga orang di mana tetangganya tidak aman dari keburukan-keburukannya.”
Melihat kedudukan tetangga maka selayaknya sebuah keluarga memperhatikan hak-haknya karena itu merupakan bukti keimanannya di samping menjadi sebab hubungan yang baik.
Hendaknya sebuah keluarga ringan tangan dengan memberikan kebaikan kepada tetangga tanpa merasa kebaikan yang diberikan remeh sebab sangat mungkin tetangga tidak melihat apa yang diberikan akan tetapi dia melihat pemberian yang merupakan bukti i'tikad baik untuk menjalin hubungan yang baik.
ياَ نِسَاءَ المُسْلِماَتِ لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهاَ وَلَوْفِرْسَنَ شَاة
“Wahai wanita-wanita muslimah, janganlah tetangga merasa remeh ketika hendak memberikan sesuatu kepada tetangganya walaupun ia hanya telapak kaki domba.” (Muttafaq alaihi).
Bisa jadi keadaan sebuah keluarga tidak memungkinkannya untuk memberikan sesuatu dalam bentuk materi kepada tetangganya, tidak masalah karena tidak ada pembebanan di luar kemampuan, pun demikian masih ada sisi non materi yang bisa diberikan bahkan bisa jadi pahalanya lebih besar yaitu bimbingan keagamaan. Sebuah keluarga bisa menjadi da’i meskipun dalam skala tetangga, membimbing membaca al-Qur`an, membimbing shalat dan membimbing dalam kebaikan-kebaikan lainnya. Tidak perlu merasa remeh karena memang masih banyak kaum muslimin yang belum bisa beribadah dengan baik dan benar, dan mereka akan dengan senang hati menyambut bimbingan kepada kebaikan dari Anda.
Termasuk kebaikan non materi adalah mengunjunginya secara berkala, apabila bertemu menjabat tangannya sambil tersenyum dan mengucapkan salam serta menanyakan kabarnya dan lain-lainnya.
Bagaimana jika sebuah keluarga tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan, tidak materi tidak pula non materi? Tidak masalah karena masih ada kebaikan pasif yang pasti dimiliki dan mampu dilakukan oleh siapa pun yaitu menahan diri dari berbuat buruk kepada tetangga baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. Dalam salah satu hadits di atas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menganggap seseorang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya tidak beriman.
Salah satu keburukan yang kerap terjadi dari tetangga kepada tetangga adalah memperolok-olok, saling memanggil dengan panggilan buruk dan ghibah, mengganggunya dengan perkataan dan perbuatan.
Salah satu bentuk kebaikan pasif adalah tidak mempersoalkan tetangga menunaikan hajat baiknya walaupun ia berkait Anda sebagai keluarga, tetapi Anda tidak dirugikan.
لاَ يَمْنَعُ جَارٌ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَةً فِي جِدَارِهِ
“Hendaknya tetangga tidak menghalangi tetangganya untuk menancapkan kayu di dindingnya.” (Muttafaq alaihi).
Baik kepada tetangga memang diharuskan akan tetapi tidak berarti sebuah keluarga menghabiskan kebanyakan waktunya bersama tetangga, satu hari bersama ini, esok hari bersama anu, jika demikian maka justru bukan kebaikan yang didapatkan karena akan melalaikan tugas rumah yang lebih penting, di samping hal tersebut bisa menyeret kepada perbincangan-perbincangan yang tidak baik.
Bukan termasuk berbuat baik kepada tetangga mengikuti semua ajakan dan kemauannya karena tidak semua ajakan tetangga itu baik. Biasanya dalam kondisi tersebut yang muncul adalah perasaan tidak enak atau rikuh atau takut dianggap tidak baik kepada tetangga sehingga meskipun sebuah keluarga mengetahui bahwa kemauan tetangga tersebut tidak baik dia tetap menurutinya dengan alasan di atas.
Sikap ini keliru, lebih baik berterus terang melalui penyampaian dengan bahasa yang baik, insya Allah tetangga bisa memaklumi, syukur-syukur sebuah keluarga bisa membelokkan kemauan yang tidak baik itu sehingga ia menjadi baik. Kalau pun tetangga memutus karena itu, maka tidak perlu bersedih karena kesalahan bukan dari Anda. Ingat agama memerintahkan berbuat baik kepada tetangga dengan timbangan agama bukan dengan timbangan para tetangga. Wallahu a'lam.