SELAMAT DATANG DI BLOG KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN SINGOSARI KABUPATEN MALANG

Jumat, 27 Mei 2016

Keluarga dan Tetangga

Sebuah keluarga sebagai makhluk sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat, sebuah keluarga sebagai elemen penting dari sebuah masyarakat, tidak terlepas dari ikatan lingkungan di mana keluarga tersebut tinggal, ia hidup di masyarakat di mana ia menjadi bagian darinya, dengan alasan apapun sebuah keluarga tidak mungkin membebaskan diri dari bagiannya dan merasa seolah-olah tinggal sendiri dengan mengacuhkan lingkungan sekitar, sementara pada saat yang sama sebuah keluarga juga harus menghadapi kenyataan bahwa dalam lingkungannya terdapat sisi negatif yang mengharuskannya bersikap hati-hati.

Setiap muslim dan muslimah mengetahui posisi tetangga dalam agama Islam, agama Islam memberikan hak-hak tersendiri kepada mereka yang tidak diberikan kepada selainnya, hal ini terbaca dari wasiat Jibril yang berulang-ulang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang tetangga sehingga beliau mengira tetangga akan mewarisi.

Di samping itu tetangga bisa menjadi salah satu tolak ukur iman seseorang. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كاَنَ يُؤْمِنُ باللهِ وَاليَوْمَ الآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلىَ جَارِهِ

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya dia berbuat baik kepada tetangganya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

Sebaliknya tetangga juga bisa menjadi salah satu tolak ukur ketidakimanan seseorang. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

وَاللهِ لا يُؤْمِن وَاللهِ لاَ يُؤْمِن وَاللهِ لاَ يُؤْمِن قِيْلَ مَنْ ياَ رَسُولَ الله ؟ قالَ اَلَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman.” Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya maksudnya beliau menjawab, “Orang di mana tetangganya tidak aman dari keburukan-keburukannya.” (Muttafaq alaihi dari Abu Hurairah).

Karena itu tidak aneh kalau tetangga bisa mempengaruhi surga, dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah,

لاَ يَدْخُلُ الجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارَهُ بَوَائِقَهُ

“Tidak masuk surga orang di mana tetangganya tidak aman dari keburukan-keburukannya.”

Melihat kedudukan tetangga maka selayaknya sebuah keluarga memperhatikan hak-haknya karena itu merupakan bukti keimanannya di samping menjadi sebab hubungan yang baik.

Hendaknya sebuah keluarga ringan tangan dengan memberikan kebaikan kepada tetangga tanpa merasa kebaikan yang diberikan remeh sebab sangat mungkin tetangga tidak melihat apa yang diberikan akan tetapi dia melihat pemberian yang merupakan bukti i'tikad baik untuk menjalin hubungan yang baik.

ياَ نِسَاءَ المُسْلِماَتِ لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهاَ وَلَوْفِرْسَنَ شَاة

“Wahai wanita-wanita muslimah, janganlah tetangga merasa remeh ketika hendak memberikan sesuatu kepada tetangganya walaupun ia hanya telapak kaki domba.” (Muttafaq alaihi).

Bisa jadi keadaan sebuah keluarga tidak memungkinkannya untuk memberikan sesuatu dalam bentuk materi kepada tetangganya, tidak masalah karena tidak ada pembebanan di luar kemampuan, pun demikian masih ada sisi non materi yang bisa diberikan bahkan bisa jadi pahalanya lebih besar yaitu bimbingan keagamaan. Sebuah keluarga bisa menjadi da’i meskipun dalam skala tetangga, membimbing membaca al-Qur`an, membimbing shalat dan membimbing dalam kebaikan-kebaikan lainnya. Tidak perlu merasa remeh karena memang masih banyak kaum muslimin yang belum bisa beribadah dengan baik dan benar, dan mereka akan dengan senang hati menyambut bimbingan kepada kebaikan dari Anda.

Termasuk kebaikan non materi adalah mengunjunginya secara berkala, apabila bertemu menjabat tangannya sambil tersenyum dan mengucapkan salam serta menanyakan kabarnya dan lain-lainnya.

Bagaimana jika sebuah keluarga tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan, tidak materi tidak pula non materi? Tidak masalah karena masih ada kebaikan pasif yang pasti dimiliki dan mampu dilakukan oleh siapa pun yaitu menahan diri dari berbuat buruk kepada tetangga baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. Dalam salah satu hadits di atas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menganggap seseorang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya tidak beriman.

Salah satu keburukan yang kerap terjadi dari tetangga kepada tetangga adalah memperolok-olok, saling memanggil dengan panggilan buruk dan ghibah, mengganggunya dengan perkataan dan perbuatan.

Salah satu bentuk kebaikan pasif adalah tidak mempersoalkan tetangga menunaikan hajat baiknya walaupun ia berkait Anda sebagai keluarga, tetapi Anda tidak dirugikan.

لاَ يَمْنَعُ جَارٌ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَةً فِي جِدَارِهِ

“Hendaknya tetangga tidak menghalangi tetangganya untuk menancapkan kayu di dindingnya.” (Muttafaq alaihi).

Baik kepada tetangga memang diharuskan akan tetapi tidak berarti sebuah keluarga menghabiskan kebanyakan waktunya bersama tetangga, satu hari bersama ini, esok hari bersama anu, jika demikian maka justru bukan kebaikan yang didapatkan karena akan melalaikan tugas rumah yang lebih penting, di samping hal tersebut bisa menyeret kepada perbincangan-perbincangan yang tidak baik.

Bukan termasuk berbuat baik kepada tetangga mengikuti semua ajakan dan kemauannya karena tidak semua ajakan tetangga itu baik. Biasanya dalam kondisi tersebut yang muncul adalah perasaan tidak enak atau rikuh atau takut dianggap tidak baik kepada tetangga sehingga meskipun sebuah keluarga mengetahui bahwa kemauan tetangga tersebut tidak baik dia tetap menurutinya dengan alasan di atas.

Sikap ini keliru, lebih baik berterus terang melalui penyampaian dengan bahasa yang baik, insya Allah tetangga bisa memaklumi, syukur-syukur sebuah keluarga bisa membelokkan kemauan yang tidak baik itu sehingga ia menjadi baik. Kalau pun tetangga memutus karena itu, maka tidak perlu bersedih karena kesalahan bukan dari Anda. Ingat agama memerintahkan berbuat baik kepada tetangga dengan timbangan agama bukan dengan timbangan para tetangga. Wallahu a'lam.

Kamis, 19 Mei 2016

Keutamaan Malam Nisfu Sya'ban

Sya’ban adalah salah satu bulan istimewa, bulan yang dihormati dalam agama Islam, selain Muharram, Dzulhijjah dan Rajab. Keistimewaan bulan ini dimulai semenjak dari awal bulan hingga akhir bulan. Akan tetapi keistimewaan yang lebih terdapat pada malam Nisfu Sya’ban. Yaitu malam ke lima belas pertengahan bulan sya’ban.

Pada malam inilah sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih dari Mu‘az bin Jabal Radhiallahu ‘anhu, “Allah mendatangi semua makhlukNya dan memberikan ampunan kepada mereka atas segala dosa kecuali orang yang menyekutukan Allah dan orang yang saling bermusuhan” (HR. Ibnu Majah, at-Thabrani dan Ibnu Hibban)

Begitu juga hadits riwayat Aisyah r.a. 
عن عائشة بنت أبي بكر قالت: «قام رسول الله من الليل يصلي، فأطال السجود حتى ظننت أنه قد قبض، فلما رأيت ذلك قمت حتى حركت إبهامه فتحرك فرجعت، فلما رفع إلي رأسه من السجود وفرغ من صلاته، قال: يا عائشة أظننت أن النبي قد خاس بك؟، قلت: لا والله يا رسول الله، ولكنني ظننت أنك قبضت لطول سجودك، فقال: أتدرين أي ليلة هذه؟ قلت: الله ورسوله أعلم، قال: هذه ليلة النصف من شعبان، إن الله عز وجل يطلع على عباده في ليلة النصف من شعبان، فيغفر للمستغفرين، ويرحم المسترحمين، ويؤخر أهل الحقد كما هم»

Dari Aisyah radhiyallahu anha berkata bahwa Rasulullah SAW bangun pada malam dan melakukan shalat serta memperlama sujud, sehingga aku menyangka beliau telah diambil. karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan selesai dari shalatnya, beliau berkata, “Wahai Asiyah, (atau Wahai Humaira’), apakah kamu menyangka bahwa Rasulullah tidak memberikan hakmu kepadamu?”Aku menjawab, “Tidak ya Rasulallah, namun Aku menyangka bahwa Anda telah dipanggil Allah karena sujud Anda lama sekali.” Rasulullah SAW bersabda, “Tahukah kamu malam apa ini?” Aku menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.”Beliau bersabda, “Ini adalah malam nisfu sya’ban (pertengahan bulan sya’ban). Dan Allah muncul kepada hamba-hamba-Nya di malam nisfu sya’ban dan mengampuni orang yang minta ampun, mengasihi orang yang minta dikasihi, namun menunda orang yang hasud sebagaimana perilaku mereka.” (HR Al-Baihaqi)

Begitulah kemurahan Allah swt yang diberikan kepada hambanya di malam Nisfu Sya’ban. Sehingga dalam kesempatan lain Aisyah meriwayatkan hadits lagi dengan banyaknya pengampunan itu semisal bulu kambing Bani Kalb

عن عائشة بنت أبي بكر قالت: «قال رسول الله : "إن الله ينزل ليلة النصف من شعبان إلى السماء الدنيا، فيغفر لأكثر من عدد شعر غنم كلب"

Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla turun ke langit dunia pada malam nisfu sya’ban dan mengampuni lebih banyak dari jumlah bulu pada kambing Bani Kalb (salah satu kabilah yang punya banyak kambing). (HR At-Tabarani dan Ahmad)

Demikianlah hendaknya kesempatan ini tidak disia-siakan. Seorang muslim yang bijak tentunya akan memanfaatkan malam Nisfu Sya’ban sebaik-baiknya, dengan sebaik-baiknya memohon pengampunan dan melaksanakan amal kebaikan sebanyak-banyaknya. Demikian hadits riwayat Ali bin Abi Thalib menegaskan :

عن علي بن أبي طالب قال: «قال رسول الله : "إذا كان ليلة النصف من شعبان فقوموا ليلها وصوموا نهارها فإن الله ينزل فيها إلى سماء الدنيا فيقول ألا من مستغفر فأغفر له ، ألا من مسترزق فأرزقه ألا من مبتلى فأعافيه ألا كذا ألا كذا حتى يطلع الفجر

Dalam hadis Ali, Rasulullah bersabda: "Malam nisfu Sya'ban, maka hidupkanlah dengan salat dan puasalah pada siang harinya, sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada malam itu, lalu Allah bersabda: "Orang yang meminta ampunan akan Aku ampuni, orang yang meminta rizqi akan Aku beri dia rizqi, orang-orang yang mendapatkan cobaan maka aku bebaskan, hingga fajar menyingsing." (H.R. Ibnu Majah dengan sanad lemah). (red.Ulil H)

sumber : www.nu.or.id